Manusia sudah hidup bergantung pada hutan sejak awal kehadirannya di bumi. Perubahan zaman dan peradaban membawa dinamika baru dalam hubungan mereka dengan Sang Wana. Studi mengenai hubungan masyarakat dengan hutan dilakukan di 6 desa, di Jambi dan Papua. Kegiatan ini menggali sisi lain dari keberhasilan dan kegagalan konservasi dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Hubungan masyarakat dengan alam dan sesama menjadi faktor kunci di dalam membangun ketangguhan (resiliensi) masyarakat atas berbagai guncangan yang mengancam. Faktor penting yang mendorong keberhasilan praktik konservasi berbasis masyarakat adalah cara memandang diri mereka sebagai bagian dari kesatuan sosial- ekologis.

Ekosistem Papua

Ekosistem di Papua menyimpan keanekaragaman hayati yang unik, mencakup berbagai jenis burung (termasuk cenderawasih), walabi dan kangguru, ular, beragam kupu-kupu dan ribuan tumbuhan. Sebagian besar masyarakat Papua tinggal di kampung yang dikelilingi hutan, hidup berdampingan dan mengelola sumber daya hutan secara lestari.

Menuju pola relasi baru, Di Papua, strategi penghidupan dibangun dari apa yang ada di sekitar mereka: beberapa bersifat subsisten, beberapa terhubung dengan rantai nilai yang lebih panjang, dan beberapa berupa ekonomi kreatif. Cara-cara pemanfaatan sumber daya alam ini adalah manifestasi dari relasi sosio-ekologis yang ada turun temurun, serta pertemuannya dengan pola-pola relasi baru.

Hubungan sosio-ekologis di Jambi, Masyarakat di Jambi bergantung pada perkebunan rakyat skala kecil dengan komoditas industri seperti karet, kopi dan kayu manis. Beberapa juga membudidayakan lebah madu, bercocok tanam padi, palawija, dan sayuran. Sumber penghidupan mereka yang bersentuhan dengan hutan mensyaratkan terbangunnya keseimbangan yang baik antara konservasi dan penghidupan.

Ibu petani sedang menjemur kopi

Pemanfaatan kelapa di Aruswar, Bentangan pepohonan kelapa di sepanjang pesisir Aruswar tidak hanya berperan sebagai pelindung gelombang laut, tapi juga sumber penghidupan masyarakat. Kelapa diolah menjadi minyak secara sederhana, di mana laki-laki memanjat, menuai dan membelah buah kelapa, sementara perempuan menggiling, memeras, dan mengolah santan kelapa menjadi minyak.

pembuatan sagu

Hubungan masyarakat dan sagu, Sagu (Metroxylon sagu) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Papua. Pengolahan sagu dilakukan secara kolektif, melalui proses yang panjang. Beberapa anggota masyarakat menyampaikan kekhawatirannya atas hilangnya minat generasi muda terhadap sagu, tapi kami masih melihat antusiasme anak-anak muda untuk mengolah sagu, beberapa dengan cara-cara inovatif.

kerajinan tangan masyarakat

Memberi nilai tambah melalui kerajinan, Karya kerajinan dari para artisan setempat, terutama perempuan, dibuat dari sumberdaya lokal seperti nibun (Oncosperma tigillarium), pelepah sagu, atau akar rotan. Kerajinan ini digunakan sehari-hari, dijual ke pasar, atau dijajakan ke mereka yang berkunjung. Kerajinan merupakan cara masyarakat memberi nilai tambah terhadap sumberdaya yang berlimpah, sekaligus membuka ruang penghidupan baru.

Guncangan: Kehidupan masyarakat tidak lekang dari berbagai guncangan — ekologis, sosio-ekonomi, hingga teknologi. Internet, misalnya, menjadi pedang bermata dua; di satu, membuka akses informasi tak terbatas, di sisi lain, mengikis nilai budaya. Jalan raya pun demikian, menarik sumberdaya ke kota sembari membawa masuk makanan kemasan. Penting bagi masyarakat untuk beradaptasi jika tidak mau tergilas oleh perubahan.

Kehidupan di Jambi, Di Jambi, kehidupan pedesaan terlihat bersahaja, dengan rumah-rumah panggung dari kayu, kegiatan belajar di ruang kelas sederhana, dan anak-anak kecil bermain bebas di aliran sungai dan perbukitan. Sesekali, mereka mencari ikan di sungai dengan harpoon dan kacamata renangnya. Ibu-ibu memasak bersama di hajatan besar, atau dalam arisan kebun, mewarnai semangat gotong royong yang masih jamak dilihat.

Kehidupan di Papua, Kampung di Papua memberi warna sentimentil pada kehidupan desa: anak-anak bermain sepakbola di lapang luas, kegiatan peribadatan hangat digelar, dan sekolah tetap menyenangkan, sekalipun dengan fasilitas terbatas. Gotong royong juga masih menjadi ciri yang kuat, seperti bagaimana puluhan orang berbondong datang dengan bahan bangunan untuk memperbaiki rumah salah satu warga yang membutuhkan. 

Pasar dan aktivitas ekonomi Papua, Pasar memiliki peran sosial yang krusial di masyarakat pedesaan Papua. Tidak hanya sebagai tempat transaksi jual beli, pasar adalah wahana membangun ikatan sosial, saling bertemu antar keluarga jauh. Gon, sebuah pasar barter di Sarmi, berlangsung tiap 3 bulan, mempertemukan warga Aruswar yang membawa sembako dengan kampung-kampung di pesisir yang membawa hasil laut. Di kampung lain, pasar bersifat lokal, dengan rantai pasok pendek, skala kecil, dan produk hasil bertani di kebun dan pekarangan.

Rantai nilai dan ekonomi rumah tangga Jambi, Ekonomi di Jambi bertumpu pada komoditas industri dengan rantai pasok panjang. Karet, kayumanis dan kopi dijual ke tauke, yang kemudian menjual ke bandar besar. Di sisi lain, bahan pangan pokok dijual melalui pedagang sayur keliling, mengingat lokasi pasar yang cukup jauh. Ekonomi lokal skala UMKM disediakan oleh, dan bagi, warga setempat. Beras, cabai, dan sayuran lain menjadi komoditas di pasar lokal, tapi tidak sebesar itu memberi penghasilan dibandingkan karet atau kayumanis.

Pemimpin sosial dan kepemerintahan di Papua, Di Papua, kepemimpinan digerakkan oleh dua sumbu, yaitu pemimpin adat (ondoafi dan kepala suku) dan aparat pemerintah formal. Pemuda tidak jarang menjadi sumbu ketiga dalam mendorong perubahan sosial. Satu hal yang sering terabaikan adalah peran perempuan, yang mengisi ruang-ruang sosial seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan pasar.

Para penggerak di Jambi, Di Jambi, pemimpin formal adalah anak-anak muda yang mendorong perubahan dan inovasi baru, termasuk dalam pemanfaatan jasa lingkungan hutan. Ini diimbangi dengan masukan dari tokoh adat, seperti dalam pengelolaan Lubuk Larangan. Kegiatan keagamaan seringkali menjadi wahana dalam membangun komunikasi antar pemimpin dan warga.

Tekanan terhadap hutan, Di Papua, tekanan terhadap ekosistem hutan dalam bentuk logging dan perkebunan skala besar mulai terasa dampaknya oleh masyarakat, seperti berkurangnya satwa buruan dan air bersih. Meskipun manfaat ekonomi betul terasa, dampak ekologis yang dirasakan warga menjadi titik balik ke arah inisiatif yang berfokus pada masyarakat dan berorientasi pada keberlanjutan.

Penyakit di tanaman kopi

Ringkihnya rantai nilai komoditas, Guncangan yang kuat terasa di Jambi adalah fluktuasi harga komoditas perkebunan, yang menyebabkan beberapa lahan terlantar. Sebagai komoditas global, harga karet, kayumanis dan kopi begitu mudah berubah, dan berdampak pada keringkihan rantai nilai yang ada, dan kerentanan para petani sebagai penerima harga di ujung rantai. Ini diperparah oleh kenaikan BBM dan saprotan.

Hama, penyakit, dan hilangnya sumber pendapatan, Guncangan mendorong perubahan pola relasi masyarakat & lingkungan. Hama dan penyakit kakao, misalnya, menghancurkan sebagian besar pohon kakao yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Dulu, katanya, anak-anak bisa memperoleh uang jajan dengan mudah dari memetik kakao, dan orang dewasa mendapat lebih banyak lagi.

Membangun Resiliensi di Papua dan Jambi

Resiliensi sosial di Papua tercermin dalam dua aspek penting: keluwesan masyarakat dalam membangun strategi penghidupan yang beragam, dan cara pandang mereka terhadap masa depan. Cara masyarakat berpindah dari satu moda ekonomi (subsistensi) ke moda lain (ekonomi pasar), dari rantai nilai global ke sistem pangan lokal, terbukti mengurangi kerentanan mereka atas guncangan. Masyarakat juga melihat kebun, hewan ternak dan terutama hutan yang luas sebagai tabungan, yang tidak selalu bisa dinilaikan secara jelas, tapi dipercaya akan selalu ada sebagai jaring pengaman di tengah ketidak menentuan.

kerja bakti

Masyarakat di Jambi memandang masa depan dengan penuh optimisme. Dalam empat dasawarsa terakhir, beberapa kali masyarakat mengalami guncangan besar – jatuhnya harga karet dan kayumanis, krisis ekonomi, pembukaan lahan hutan oleh pihak luar – dan di periode itu pula masyarakat selalu bisa beradaptasi. Pola wanatani menyediakan penyangga di saat harga komoditas jatuh, demikian pula usaha-usaha alternatif. Satu faktor kunci resiliensi terletak pada upaya mempertahankan kearifan dan nilai-nilai lokal, seperti melalui Lubuk Larangan yang dikelola secara kolektif.

resilience in everyday life

Resiliensi masyarakat dibangun laiknya rangkaian cerita cinta — antara suami dan istri, orang tua dan anak, pemimpin dan warga, generasi tua dan muda, serta antara masyarakat dan alam. Di sini, resiliensi terbangun, melalui ikatan sosial (ekologis) yang kokoh, sikap saling terbuka dan menghargai, dan cara pandang positif atas masa depan. Nilai-nilai luhur yang melekat pada kisah cinta ini membantu masyarakat bertahan dari guncangan. Pada akhirnya, semua tergantung pada jawaban dari pertanyaan ini:

Apa yang paling kamu anggap penting di dalam hidupmu?